Mentalitas Kubu Oposisi dan Tumpulnya Kebebasan Berekspresi

Senin, 2 September 2019 14:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demokrasi seharusnya di apapun periode zaman, harus tumbuh berani. Budaya oposisi belum eksis, karena elite oposisi gampang tergiur kursi dan upeti menjatuhkan martabat kubu oposisi. Seharusnya budaya oposisi dapat menjadi partner pemerintah dengan sudut pandang lain dalam menggodok sebuah kebijakan. Selain itu, era digital yang memindahkan obrolan warkop ke dimensi online pun ternyata tak cukup aman bagi setiap ekspresi yang dianggap menganggu stabilitas. Menjadi oposisi "bebas" seperti tidak memicu warga semakin cerdas berekspresi, malah menumpulkan semangat menjadi oposisi. Inilah yang membuat menjadi oposisi tidaklah menyenangkan baik sebagai elite maupun simpatisan. Kategori: Tidak berkembanganya budaya oposisi. Para pemimpin politik mudah meninggalkan ideologi atau sikap politik, dan gampang berkompromi demi mengejar kekuasaan.

Pilpres 2019 telah usai, namun meninggalkan segudang cerita dan pesan untuk generasi ke depan, “Sampai Kapan Kue Pembangunan Hanya Dinikmati Segelintir Elite dan orang-orang dekatnya (konstituennya)?” Ini sering kali terjadi ketika saya berkomunikasi dengan beberapa kolega di daerah. Hanya karena perbedaan bendera partai, beberapa institusi pendidikan harus kehilangan hak bantuan atau kalau perlu dipersulit bahkan tidak dilibatkan dalam kegiatan program pendidikan.

Kalah menang dalam demokrasi seharusnya menjadi hal biasa, namun bukankah terlalu naif jika kemenangan hanya diukur dari banyak sedikitnya pemilih, karena saat menjadi pimpinan, justru hanya menguntungkan konstituennya saja.

Kita butuh sistem yang visible, yang mampu mengangkat derajat kontestasi antar partai politik lebih dewasa dan lebih “garang” dalam menguraikan ide-ide segar dan progresif.

Di tingkat akar rumput, obrolan warung kopi adalah obrolan rakyat yang paling jujur, meskipun dilakukan secara spontan, bebas, dan jauh dari ketakutan. Mereka mungkin berbeda pandangan bahkan bendera partai. Di ruang maya, obrolan tersebut bahkan membangun ruang-ruang bagi siapapun untuk terlibat mengekspresikan pandangannya. Namun daripada mensortir satu-satu, cari tahu saja langsung di ruang nyata. Inilah mengapa pada tahun 2013 silam, PM Norwegia Jens Stoltenberg menyamar menjadi sopir taksi untuk mencari tahu aspirasi rakyatnya. Bukan untuk menghukum para penumpang yang tidak setuju dengan kebijakannya. Namun untuk mengevaluasi, sejauh mana pandangan awam tentang kinerjanya. Sejauh ini, saya belum melihat Jokowi melakukan hal tersebut.

Jika Jokowi terkenal dengan istilah blusukan, mungkin awam ke depan akan lebih cerdas, bahwa presiden yang membawa platform blusukan pun, ternyata bukan parameter ideal menentukan maju mundurnya pembangunan. Jokowi cenderung seperti boneka partai atau petugas partai, yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan personal dalam menentukan kebijakan secara elegan. Moral presiden seperti ini akan luruh dalam ambisi parpol dan 45 persen pendukung capres Prabowo menyadari hal tersebut.

Jokowi beserta gerbongnya seharusnya berpikir bahwa setiap kebijakan strategis yang dilakukan, wajar jika mendapat perlawanan baik di tingkat dewan, ruang akademik, ruang publik, bahkan sampai di ruang maya. Seperti pemindahan ibukota, rakyat bebas bersuara, melakukan kritik, karena baik buruknya kritik, menandakan rakyat bukanlah objek yang bisa menelan begitu saja kebijakan. Lewat twitter maupun media sosial lainnya, rakyat di sabang maupun merauke dapat langsung berkomentar tentang kicauan presiden dan elite politik di daerah.

Culture of fear
Era digital menawarkan keterbukaan yang memang agak bebas, tajam, dan cenderung “keras”. Lewat media sosial, muncul hoaks yang dapat mengadu domba bangsa ini. Jokowi yang dituduh simpatisan PKI, Prabowo yang katanya menabok Sandiaga, sampai penganiayaan Ratna Sarumpaet yang sempat menjadi perhatian publik. Bahkan kasus Ratna Sarumpaet berhasil menggiring opini publik untuk membenci salah satu paslon.

Kedewasan politik di Indonesia masih terus berproses hingga menemukan titik idealnya, namun menghentikan kebebasan berekspresi dan mempidana netizen tidaklah sekeren platform blusukan yang membumi, tidak gampang tersinggung, dan damai/pemaaf.

“Ruang bermain” politik yang telah bergeser dari offline ke online, membutuhkan lebih dari sekadar wacana, seperti sales obat yang menjanjikan ini dan itu. Semua menjadi terfragmentasi, yang tadinya menolak capres A menjadi pendukung berat capres B, dan begitu sebaliknya.

Digital footprint dan history status di facebook maupun kicauan di twitter di era ini menjadi penanda konsisten tidaknya pihak yang terlibat baik elite maupun parpol di kubu oposisi. Tidak cukup logis dan rasional, karena mereka yang berpindah kubu, setelah “kalah” dalam kontes politik, seharusnya malu, karena begitu mudah tergiur kursi menteri dan posisi strategis yang ditawarkan sang juara.

Kita berharap budaya oposisi terus berkibar tiap perhelatan pemilu. Harry S Truman mengemukakan bahwa setelah pemerintah berkomitmen untuk membungkam suara oposisi, langkah-langkah yang semakin represif, sampai menjadi sumber teror bagi semua warga negaranya dan menciptakan sebuah negara tempat semua orang hidup dalam ketakutan.

Apa yang dikatakan Truman tersebut persis bagaimana UU ITE telah memakan banyak korban baik jurnalis maupun warga. Kondisi ini jelas membuat culture of fear di ruang maya, siapapun menjadi takut untuk berekpresi. Istilah culture of fear yang mengacu pada prevalensi yang dirasakan dari ketakutan dan kecemasan dalam wacana dan hubungan publik, dan bagaimana ini dapat mempengaruhi cara orang berinteraksi sebagai indivisu maupun agen demokrasi.

Di era Orde Baru, hambatan kebebasan berekspresi itu hanya muncul dari perangkat-perangkat kekuasaan negara. Namun kini, hambatan itu bisa muncul dari siapa saja: aparat keamanan, ormas, pasukan paramiliter, kelompok keagamaan, elite politik berpengaruh dan melalui tren media sosial, kepala sekolah bahkan rektor dapat dengan mudah mempidanakan siswa/mahasiswa. Yang kritis, ditindas. Yang berekspresi, kalau perlu dipidanakan.

Mulai dari jurnalis hingga warga yang tidak santun dalam mengekspresikan pendapatnya, akan mudah dipidana. Bagi jurnalis yang perlu memberitakan fakta sering kali menjadi korban kekerasan. Dalil UU ITE menjadi dasar elite di daerah memukul jurnalis agar menghentikan investigasinya.

SAFEnet memerinci; pada 2013 terjadi 2 kasus pada jurnalis, pada 2015 terjadi 2 kasus terhadap jurnalis dan media, pada 2016 terjadi 6 kasus terhadap jurnalis, pada 2017 terjadi 3 kasus terhadap 2 jurnalis dan 1 media, pada 2018 terjadi 8 kasus terhadap 3 jurnalis dan 5 media.

Sementara tindakan kekerasan pada jurnalis, dari catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang diolah tim Lokadata Beritagar.id, sejak 2006 hingga 2019 mencapai 708 kasus.

Bangunan dialektika jurnalis maupun jurnalis warga merupakan ruang paling jujur, yang jika dikelola secara sportif, menjadi masukan berharga bagi elite yang memimpin maupun elite yang menjadi oposisi sekeras mungkin berpikir, bukan hanya memikirkan kuasa, tanpa rasa. Bertarung di era digital akan lebih elegan pemerintah membuat tools yang dapat memfilter mana hoaks dan yang bukan dan membungkam secara otomatis mereka yang dianggap “menganggu” stabilitas.

Mutasi hoaks
Ada yang lebih mengerikan selain hoaks, yang ternyata telah bermutasi menjadi “deepfake” yang berasal dari dua terminologi "deep learning" and "fake" menunjukkan bahwa hoaks menjadi begitu meyakinkan dan artificial intelligence (AI) begitu realistis.

Sebuah “fakta” yang kelihatan nyata, yang dilihat mata, bukan hanya sebatas teks. Sebuah konteks yang meyakinkan. Jika kebenaran lebih terasa jika dilihat, apa jadinya jika yang dilihat merupakan sebuah video yang manipulasi sedemikian rupa, yang tak dapat diragukan lagi.

Orang sudah banyak yang jadi korban. Jangankan hoaks seperti Ratna Sarumpaet atas kebohongan pengeroyokan atas dirinya, dan berapa banyak tokoh politik hingga obrolan di warkop menyuguhkan kebencian terhadap salah satu paslon. Fenomena deepfake akan berdampak lebih parah. Terlebih jika mereka menjadi barang bukti di pengadilan maka pemerintah dan peneliti di bidang forensik digital harus memikirkan tools untuk meminimalisir dampak deepfake ini.

Wajah baru devide et impera seperti Hoaks dan deepfake menjadi tantangan pada pemilu tahun 2024. Kita perlu tools untuk memfilter untuk mengantisipasi dampak hoaks dan deepfake yang keburu viral.

Ada beberapa langkah membangun mentalitas kubu oposisi menjadi lebih elegan di era digital, diantaranya:
Pertama, mindset kompromi bagi elite parpol yang tidak mendukung paslon presiden harus diminimalisir. Menemukan kebenaran diutamakan meskipun lambat, bukan ketergesaan dalam menyimpulkan perlu dikedepankan, yang menambah situasi negara tidak kondusif. Terlebih di era digital seperti saat ini, parpol harus mampu mengedukasi politik konstituennya sehingga dapat menghindari hoaks yang merugikan pihak oposisi.

Kedua, penyegaran bahan atau isu lokal, regional, nasional, maupun global perlu lebih dipahami secara makro dan terintegrasi. Pengetahuan capres yang minus menyebabkan debat capres terlalu monoton dan seperti “ngalor ngidul” tanpa arah, sehebat apapun moderatornya. Perlu sosok capres yang tidak hanya pandai dalam retorika, namun benar-benar isu/bidang debat benar-benar mengakar dalam analisa berpikirnya. Ini menunjukkan bahwa isu/bidang beragam tersebut muncul dari dirinya sendiri.

Ketiga, kebebasan berekspresi di ruang maya jangan terlalu diatur, justru ekspresi awam itulah yang akan menunjukkan puas atau tidak puasnya rakyat dengan pemerintah pusat dan daerah. Di bidang pendidikan, masih banyak, guru yang kritis terhadap ketidakbenaran dianggap ancaman. Pendapat siswa yang merasa bahwa sekolahnya belum mengalami kemajuan pun dianggap aib yang memalukan. Kebebasan pun terbelenggu. Guru yang kritis, dikucilkan. Siswa yang mempermalukan sekolah/kepala sekolah/gurunya, dikeluarkan.

Keempat, elite politik opisisi tidak gampang tergiur kursi menteri (bagi-bagi kursi menteri) atau proyek program kerja pemerintah. Mempertahankan oposisi berarti mempertahankan demokrasi. Perlu digarisbawahi bahwa oposisi bukan sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda. Oposisi berperan sebagai rem, yang dapat membantu pemerintah dalam menevaluasi kinerja kementerian/lembaga/organisasi pemerintah daerah dan lain sebagainya. Rem, bukan menghentikan total seperti mematikan mesin, namun rem oposisi berguna agar arah pembangunan berjalan di track yang sesuai, bukan hadir memanfaatkan keuntungan dan akhirnya mencari celah untuk menjadi bagian dari elite yang memimpin.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ivan Muhammad

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content

test

Rabu, 17 Juli 2024 08:22 WIB

img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Viral

Lihat semua